Limbah sitotoksik merupakan limbah rumah
sakit yang berbahaya bagi lingkungan karena memiliki sifat yang sangat
berracun. Jika dilakukan pengolahan dengan baik maka
akan memberi dampak positif pada lingkungan. Pengolahan limbah sitotoksik terdapat
3 cara : dikembalikan ke pemasok awal, insinerasi pada suhu tinggi dan
degradasi kimia.
Dikembalikan ke pemasok awal
merupakan cara yang paling mudah dilakukan jika suatu negara tidak memiliki
fasilitas insinerasi. Namun, kesulitan yang dihadapi pada metode ini yaitu
harus mendapat pengawasan yang tepat (terutama pada saat pengemasan) dari
limbah sitotoksik tersebut. Sehingga bila terjadi kebocoran maka akan berdampak
negatif pada lingkungan sekitar.
Metode insinerasi merupakan metode
yang sering digunakan untuk pengolahan limbah sitotoksik. Pada
proses incinerator, limbah dimasukkan ke ruang/tungku pembakaran yang telah
dipanaskan sebelumnya sampai dengan suhu minimum dengan menggunakan bahan bakar
tambahan seperti gas alam atau minyak bakar. Tungku pembakaran ini umumnya
terbuat dari baja yang dilapisi dengan “incinerator khusus” atau re-“fractory
brick”. Ditungku pertama, limbah diberi/dibubuhi gas dan dibakar sebelum
dipindahkan ke tungku kedua atau after burner ditempat mana akan diberi bahan
bakar tambahan untuk menaikan suhu dan menyelesaikan proses pembakaran. Gas
(hasil) pembakaran dikeluarkan (dibuang) melalui cerobong ke atmosfer. Suhu,
waktu tinggal (residence time) dan pencampuran di tungku pembakaran
dikendalikan secara cermat guna memastikan bahwa penghancurannya sempurna dan
kontaminan-kontaminannya tidak terbuang melalui cerobong. Incinerator memilki
beberapa kelebihan dibanding landfill. Proses ini jelas mengurangi jumlah
limbah yang memerlukan landfill sehingga bertujuan untuk mengurangi keperluan
lahan dalam pengelolaan limbah. Incinerator menghasilkan penghancuran berbagai
senyawa organik secara sempurna. Kelemahannya adalah kebutuhan akan operator
yang terlatih dan potensi emisi ke atmosfer, apabila perencanaannya tidak
sesuai dengan kebutuhan operasionalnya. Sementara pembakaran efektif dalam
mengurangi sedikit emisi senyawa organik yang ada, pencemar lain seperti
partikulat dan gas bersifat asam memerlukan beberapa bentuk/sistem pengendalian
pencemaran udara. Khususnya, alat ini dapat meliputi suatu pemadam untuk
mengurangi suhu gas-gas incinerator, suatu penyaring (scrubber) seperti suatu
pemisah partikulat, diikuti suatu menara (packed tower) untuk menyerap gas-gas
yang bersifat asam.
Pada sistem
pemadam (quench), gas-gas dicampur dengan air atau cairan lain, dan penguapan air
akan mendinginkan gas-gas. Setelah didinginkan, gas-gas dilewatkan ke suatu
saringan (venturi scrubber) dimana tetesan air berukuran halus digunakan untuk
memisahkan partikulat. Kemungkinan lain, dapat digunakan suatu baghouse (filter
dari tenunan yang kuat) atau suatu electrostatic precipitator (satu sistem yang
memberikan muatan listrik pada partikulat dan menariknya ke satu elektroda yang
digantung). Sebagai langkah akhir, gas-gas seperti SO2, HCl dab HF dapat
dipisahkan dalam saringan penetralisasi (neutralizing scrubber). Saringan ini
meliputi menara (packed atau plate tower) atau suatu saringan yang menggunakan
larutan basa.
Selain menggunakan metode
insinerasi, pilihan terakhir dengan metode degradasi kimia yang mengubah
senyawa sitotoksik menjadi senyawa non toksik.
Namun, metode encapsulation
(pembungkusan) atau inertisasi dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pertama jika
metode lain tidak dapat dilakukan.
No comments:
Post a Comment